Ada yang pernah naik gunung? Fun, enjoy, capek, atau luar biasa? Meski sekarang aktivitas naik gunung itu sudah menjadi semacam aktivitas mengisi liburan yang cukup mainstream, namun, sebenarnya ada banyak hal yang bisa kita dapatkan selama perjalanan ke puncak.

Lalu, apa hubungannya dengan judul di atas?

Saya mengibaratkan kedua hal itu seperti perjalanan panjang dan berat. Jalan mendaki berkilo-kilometer itu bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Apalagi bagi gunung-gunung yang tergolong berat. Perjalanan semakin jauh, jalan semakin terjal.

Hermann Buhl

Hermann Buhl pernah berkata bahwa mountain have a way of dealing with over-confidence. Kalau dalam sebuah soundtrack film, “Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya.”. Kurang lebih, itu hal yang akan kita dapatkan ketika mendaki gunung dengan “benar”. Menaklukan sebuah gunung, itu berarti kita belajar menaklukan diri kita sendiri. Selain tentunya, pemandangan yang mahadahsyat selama perjalanan hingga ke puncak.

Ramadhan, sudah jelaskan mengapa Allah memerintahkan kita untuk berpuasa?

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Setiap ramadhan yang kita lewati, tidak lain dan tidak bukan adalah membuat kita bertakwa. Normalnya, jika kita melaksanakan ibadah selama ramadhan dengan “benar”, kita akan jadi pribadi yang lebih bertaqwa. *aamiin

Tantangan selama perjalanan pun tidak mudah. Jalanan yang panjang dan menanjak itu capeknya luar biasa. Turunnya apalagi, bisa bikin gagal dengkul. Belum lagi kanan kiri jalan yang kita daki adalah jurang. Kurang berhati-hati sedikit, bisa fatal akibatnya. Yang tak boleh dilupakan adalah udara dingin. Menggigil itu Cuma masalah kecil. Hipotermia bisa menyerang kapanpun. Resikonya tidak main-main, kita bisa meninggal.

Banyak kasus orang yang gagal mencapai puncak karena harus berhenti di tengah jalan. Tentu masih ingat jelas tentang berita pendaki yang terjatuh di Merapi. Semoga mendapat tempat terbaik di sisi Allah. Kasus hipotermia juga tak kalah banyak. Pelopor aktivis pecinta alam, Soe Hok Gie, meninggal karena hipotermia dalam perjalanan menuju Mahameru.

Itupun baru tujuan fisik, menuju puncak. Masih ada tujuan batin, menaklukan diri sendiri tadi. Nah, Banyak orang yang mencapai puncak gunung, namun justru malah jadi prbadi yang tinggi hati. Banyak pribadi yang naik gunung tujuannya agar dilihat wah oleh manusia lainnya. Padahal seharusnya sebaliknya, kita mendaki gunung agar kita bisa melihat dunia lebih luas.

Ini yang lebih berbahaya. Meski sudah berkali-kali menaklukan gunung, namun kita justru oleh takluk oleh ego kita sendiri. Naik gunung seakan cuma jadi rutinitas tanpa ada value yang kita dapatkan, selain foto dan selfie di puncak. Lebih parah lagi kalau masih meninggalkan sampah di gunung.

Pun hal yang sama dengan Ramadhan. Lapar dan dahaga hanya manyasalah kecil. Masalah besar adalah ketika kita hanya menganggap ramadhan hanya sebagai rutinitas. Mungkin, kita sudah belasan tahun bahkan sudah banyak yang sebagian besar hidupnya sudah melewati ramadhan. Namun, hikmah Ramadhan hanya sedikit yang ia dapatkan, selain lapar dan dahaga. Menjadi pribadi yang bertaqwa, boro-boro dah.

3

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thabrani)

Lalu, apa yang harus kita lakukan agar tujuan Ramadhan kita tercapai?

Setiap pendakian, itu selalu butuh persiapan. Tenda, matras, sleeping bag, obat-obat pribadi, webbing rope, jaket tebal, kompor, nesting, bahan makanan, jas hujan, dan sebagainya adalah perlengkapan yang wajib kita bawa selama pendakian. Tanpa itu, kita dipastikan tidak bisa survive selama perjalanan. Itupun masih belum cukup. Beberapa gunung yang terkenal berat medannya, mengharuskan kita agar selalu latihan rutin sebelum naik gunung. Dulu, sebelum naik Mahameru saya harus jogging tiap hari, push up dan sit up tiap bangun tidur. Dan itu harus kita lakukan selama minimal sepekan sebelumnya. Agar tubuh kita tidak kaget. Ototnya nggak mudah kram di tengah jalan.

Pun hal yang sama ketika hendak menghadapi Ramadhan. Ada persiapan panjang yang harus kita lakukan. Selama ramadhan kita harus siap beribadah lebih banyak dari biasanya. Tilawah lebih banyak dari biasanya, sholat yang lebih banyak dan lebih khusyu’ dari biasanya. Dan apakah itu tanpa persiapan?

Rasul saja sudah latihan berpuasa di bulan Sya’ban.

“Saya sama sekali belum pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dalam satu bulan sebanyak puasa yang beliau lakukan di bulan Sya’ban, di dalamnya beliau berpuasa sebulan penuh.”  (Aisyah RA)

persiapan-bulan-ramadhan-puasa

Kita juga butuh latihan sebelum menghadapi marathon Ramadhan. Nyaris mustahil jika kita di hari biasa jarang baca Al Quran, namun bisa khatam Al Quran selama bulan Ramadhan. Orang yang Shubuhnya selalu telat, yakin masih bisa bangun sahur? Taqwa hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang memang sudah siap menghadapi Ramadhan.

Dan ingat, Ramadhan itu cuma sebulan. Kita harus menunggu sepanjang tahun agar bisa bertemu Ramadhan kembali. Itupun kalau masih diberi kesempatan untuk berjumpa kembali. Tidak ada Ramadhan-ramadhan lain selain yang akan kita hadapi 2 hari lagi tersebut. Untuk ramadhan tahundepan masih belum ada garansinya. Oleh karena itu, pastika kita beribadah seoptimal mungkin. Mungkin bagi yang merasa persiapannya belum cukup, saya contohnya, semoga keinginan kita cukup kuat untuk menyeret semangat ibadah kita agar kita masih bisa mencapai puncak Ramadhan. Aamiin.