Seperti yang saya sebutkan di tulisan sebelumnya, kelahiran bayi di Belanda lumrah dilakukan di rumah. Bidan akan datang ke rumah sang ibu untuk membantu proses kelahiran. Nggak ribet. Karena memang, orang Belanda beranggapan bahwa proses kelahiran nomal, itu merupakan hal yang biasa. Tak perlu repot-repot ke rumah sakit. Kecuali jika harus ada tindakan.

Kami sendiri berkeputusan untuk melakukan proses kelahiran di rumah sakit. Kami mengambil keputusan ini karena ini anak pertama dan tidak ada keluarga yang bisa membantu. Pun waktu itu istri sudah merasakan kontraksi seharian.

4 Juli 2017 jam 00.00

Saya sebenarnya agak lupa tepatnya pukul berapa. Yang jelas sekitar tengah malam, istri mulai merasakan kontraksi rutin. Menurut pesan dari bidan, jika sudah mengalami kontraksi selama 1-2 menit dengan jeda 5-10 menit selama 1 jam, tandanya bayi akan segera lahir dan segeralah telfon bidan. Malam itu jeda antar kontraksi masih sekitar 30 menit sampai 1 jam.

Hingga pagi, kontraksi masih terus berlangsung dengan pola yang sama. Padahal saya harus ada ujian hari itu. 2 mata kuliah pula. Ujian po ra iki? Setelah berdiskusi dengan istri, saya pun meniatkan diri untuk berangkat ujian, namun, ponsel harus tetap dalam kondisi menyala dan berada di kantong. Kalau terjadi apa-apa, saya bisa langsung dapat kabar.

Jam 12.00

Selesai ujian mata kuliah pertama, saya pulang ke rumah. Sekitar jam 12.00. Masih ada jeda 1.5 jam untuk jeda ujian berikutnya. Tapi, siapa sih yang nggak deg-degan ninggalin istri dalam kondisi seperti ini?

Jeda antar kontraksi semakin pendek, sekitar 15-20 menit. Akhirnya, kami pun menelpon bidan. Sekitar 15 menit, bidan sudah sampai di rumah. Maklum, jalan kaki tak sampai 5 menit.

Kata bidan, istri sudah memasuki fase bukaan 1cm. Fase terakhir sebelum melahirkan adalah 10 cm. Melihat istri dengan kondisi seperti ini, saya jadi galau. 30 menit lagi saya ujian. Namun, alhamdulillah, istri meyakinkan saya untuk tetap ikut ujian.

Alhamdulillah, saya menyelesaikan ujian lebih cepat dari waktu yang disediakan. Rasanya udah pengen buru-buru pulang. Nggak bisa fokus juga waktu ngerjain ujian. Toh, nanti juga ada resit. Pikir saya waktu itu.

Jam 17.00

Sesampai di rumah, rasa sakit karena kontraksi semakin intens. Jeda antar kontraksi sekitar 5 menit. Dan kami pun segera menelpon bidan. Menjelang jam 6, bidan sampai ke rumah. Kali ini, istri sudah memasuki fase 3 cm. Bertambah 2 cm dalam 5 jam. Masih cukup panjang untuk menuju fase berikutnya, namun rasa sakit sudah tak tertahankan. Setelah berkonsultasi dengan bidan, kami pun diizinkan untuk berangkat ke rumah sakit.

Jam 18.30

Kami pun tiba di rumah sakit menggunakan taksi. Dari rumah kami sudah harus mempersiapkan semuanya. Baby car seat untuk membawa bayi pulang, pakaian ganti untuk kami dan set lengkap pakaian bayi.

Semenjak tiba di rumah sakit, istri mengalami proses panjang untuk melahirkan. Tak tega rasanya melihat istri menahan rasa sakit selama ini. Saya hanya bisa terus berada di sampingnya untuk terus menyemangati.

Sekitar jam 3.42, saya pertama kali menyaksikan putri kami, Alya, lahir di dunia. Kecil, mungil dan keliatan rapuh. Tangisannya memecah keheningan ruang operasi. Saya langsung berinisiatif menghampiri perawat yang menggendong Alya untuk melihatnya lebih dekat. Saya belum boleh menggendongnya. Perawat masih harus membersihkan Alya yang masih rentan terhadap dunia luar.

1.jpg
Alya yang baru saja merasakan dunia

Selesai dibersihkan, saya dipersilakan untuk memotong tali pusar Alya. Iya, saya yang memotongnya sendiri, meskipun bukan langsung dari plasenta. Saya hanya memotong sisa tali pusar yang masih sekitar 30 cm. Disini semacam ceremonial-nya seperti itu. Perawat pun kembali meminta Alya dari saya untuk dipasangkan pakaian yang telah kami bawa dari rumah.

2.jpg
Deg-deg an motong tali pusar

Pandangan mata saya masih belum lepas dari Alya. Suara tangisan kecilnya, membuat perasaan saya membuncah. Antara sedih, bahagia, haru, campur aduk. Bertambah tanggung jawab besar yang harus saya bawa.

Ditemani perawat, saya membawa Alya ke ruang bersalin. Di ruang bersalin, Alya harus segera mendapatkan skin-to-skin contact. Kondisi istri masih dalam setengah sadar. Maklum, sudah 2 malam tidak tidur. Suster menyarankan agar saya saja yang melakukan skin-to-skin contact untuk alya. Saya pun melepas kaos dan segera menggendong alya yang hanya mengenakan popok. Saya mendekapnya dengan erat. Mendekatkan telinganya ke dada kiri saya agar Alya merasakan detak jantung ayahnya.

Pengalaman pertama saya menggendong bayi yang masih berusia beberapa menit adalah anak saya sendiri. Lega, satu check point kehidupan telah berhasil kami lewati. Kami pun bisa sedikit tenang. For now, at least.